Rabu, 06 Mei 2015

Industri Keuangan (Regional vs Global)



Industri Keuangan (Regional vs Global)
Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan ASEAN dalam hal skala ekonomi, luas wilayah, maupun jumlah penduduk, sudah sewajarnya mendapat keuntungan optimal dari implementasi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) tahun 2015. Namun sampai dengan saat ini Indonesia masih belum mendapatkan mutual benefit, khususnya dalam ekspansi bisnis perbankan, padahal kinerja perbankan nasional terlihat sudah mampu bersaing kompetitif di tataran regional. Aset dan kredit perbankan nasional dalam beberapa tahun terakhir, mampu tumbuh jauh melampaui pertumbuhan perbankan regional dengan kualitas aktiva yang terjaga dengan baik. Di jajaran top 15 bank di ASEAN, empat bank milik Indonesia tercatat memiliki pertumbuhan aset, kredit, dan rasio efisiensi yang lebih baik dibandingkan bank-bank sekelas DBS, UOB, OCBC, dan CIMB Group.
Upaya BI untuk menerapkan prinsip kesetaraan (level of playing field) yang sama antara bank nasional dan bank asing yang beroperasi (maupun yang akan beroperasi) di Indonesia melalui beberapa regulasi, yaitu PBI 14/26/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti bank (Multi License Policy), PBI 14/24/2012 tentang Kepemilikan Tunggal, dan PBI 14/8/2012 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum.
Di satu sisi, aturan-aturan tersebut setidaknya telah berupaya untuk mengakomodir kesetaraan (prinsip resiprokalitas) antara lain dengan mensyaratkan bank asing yang beroperasi di Indonesia untuk meningkatkan struktur permodalannya (modal inti) jika ingin melakukan kegiatan usaha secara lengkap dan hendak membuka kantor cabang khususnya di zona overbanked (zona jenuh), serta tidak dapat lagi semata-mata hanya fokus menyalurkan kredit konsumsi yang memberikan yield yang tinggi, namun juga harus meningkatkan penyaluran kredit ke sektor produktif.
Di sisi lainnya, aturan tersebut juga selaras dan mendukung pengembangan dan penguatan perbankan nasional serta memberikan dukungan terhadap progam financial inclusion di Indonesia dalam bentuk penyebaran jaringan distribusi perbankan di seluruh wilayah Indonesia, khususnya wilayah atau zona yang belum jenuh terhadap penetrasi perbankan. Hal ini tentunya akan meningkatkan akses layanan finansial bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Melalui aturan ini, maka diharapkan konsentrasi distribusi jaringan perbankan akan lebih merata di seluruh wilayah Indonesia untuk mendukung financial inclusion dalam rangka pemerataan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Hal tersebut tentunya juga akan mendukung implementasi konsep branchless banking yang saat ini merupakan salah satu solusi untuk melakukan percepatan peningkatan financial inclusion.
Untuk itu, dalam rangka memperkuat eksistensi perbankan nasional di tataran internasional, ke depannya perlu didukung oleh adanya regulasi lanjutan sehingga dapatmemperkuat positioning dan penetrasi bank-bank nasional dalam melebarkan sayapnya di kawasan regional serta memiliki level of playing field yang sama saat melakukan penetrasi bisnis di luar negeri.
Selain itu, secara khusus perbankan nasional juga membutuhkan dukungan regulator untuk mendorong penghimpunan dana masyarakat. Tingginya rasio LDR perbankan nasional yang saat ini mencapai 84% (dibandingkan dengan LDR Malaysia di 78%) bahkan beberapa bank nasional memiliki LDR lebih dari 100%, menunjukkan bahwa kebutuhan pembiayaan jauh lebih besar dibandingkan kemampuan pendanaan. Kedepannya perlu ada kebijakan yang dapat mendorong pengembangan infant securitization dan bond market mengingat saat ini sekuritisasi aset keuangan hanya dapat dilakukan melalui struktur KIK EBA dengan pasar yang terbatas dan kurang likuid.
Dukungan regulator juga dibutuhkan perbankan nasional dalam pengembangan bisnisbranchless banking yang merupakan solusi meningkatkan financial inclusion. Fakta menunjukkan bahwa dalam 12 tahun terakhir, jumlah pemegang HP (pemilik SIM Card) mampu melampaui jumlah pemegang rekening bank yang saat ini penetrasinya baru 51%. Optimalisasi pengembangan branchless banking yang berbasiskan telepon seluler perlu didukung relaksasi peraturan khususnya yang terkait dengan perizinan banking agent serta kelonggaran proses know your customer (KYC) bagi nasabah unbanked. Perlu juga ditingkatkan partnership antara perbankan dengan operator telekomunikasi untuk mendorong inter-operability dan mengakselerasi terciptanya cashless society. Perbaikan sistem identitas penduduk ke arah single identity juga dapat menjadi salah satu solusi pengembangan branchless banking untuk mendorong integrasi informasi finansial sehingga pemilik SIM Card dengan identitas penduduk tertentu dapat dengan mudah memiliki rekening bank dan mendapatkan layanan keuangan.

            Untuk industri keuangan secara global menunjukan di Amerika Serikat pemulihan ekonomi semakin solid sehingga The Fed telah memutuskan untuk menghentikan program stimulus moneter, yang menjadi penopang ekonomi negara tersebut pasca-krisis keuangan global 2008. The Fed juga telah memberikan sinyal akan melakukan normalisasi kebijakan moneter berupa peningkatan suku bunga pada 2015, yang berpotensi memberikan efek rambatan terhadap pasar keuangan global.
Sementara itu, lanjutnya, pertumbuhan ekonomi Eropa, Jepang, dan Tiongkok cenderung melambat. Kondisi perekonomian Eropa dan Jepang masih belum menunjukkan perbaikan berarti. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok, yang merupakan ekonomi terbesar kedua dunia, pada triwulan III-2014 berada pada level terendah sejak 2009. Hal ini berdampak terhadap industri keuangan di Indonesia.
Beberapa kondisi terkait perekonomian domestik antara lain, penurunan harga BBM, perlambatan pertumbuhan ekonomi 2014 yakni dari 5,58% menjadi 5,02%. Sementara pada triwulan IV 2014, pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan dari 4,92% menjadi 5,01% yoy, Januari 2015 perekonomian mengalami deflasi terkait dengan administered prices, sementara neraca perdagangan mengalami surplus.
Kondisi pasar keuangan domestik, pasar saham cenderung menguat dengan fluktuasi yang relatif moderat. Pasar Surat Berharga Negara (SBN) menguat seiring perbaikan persepsi risiko pada 2014. Rupiah sempat mengalami penguatan seiring dengan membaiknya persepsi risiko dimaksud, namun secara point-to-point masih melemah. Kondisi Lembaga Jasa Keuangan, risiko likuiditas masih terjaga tercermin dari alat likuid perbankan dan asuransi yang masih memadai, risiko kredit relatif rendah, Non Performing Loan dan Non Performing Financing di bawah (threshold), sementara risiko pasar juga masih dikategorikan rendah di tengah fluktuasi pasar Januari yang relatif moderat.
Kondisi perbankan, selama 2014 mengalami perlambatan, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga dan Kredit pada Desember 2014 mengalami perlambatan masing-masing dari 13,79% dan 11,89% pada November 2014, menjadi sebesar 12,29% dan 11,58%. Namun demikian, walaupun pertumbuhan kredit mengalami perlambatan, terdapat dua sektor yang mengalami peningkatan, yakni sektor konstruksi dan rumah tangga. Peningkatan kredit sektor kontruksi sejalan dengan program pemerintah yang saat ini fokus pada infrastruktur. Rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) Desember 2014 tercatat sebesar 19,57% mengalami penurunan dari 19,67% pada posisi November 2014. Rentabilitas yang tercermin dari rasio Net Interest Margin dan Return On Asset masing-masing tercatat sebesar 4,24% dan 2,85%. Sisi efisiensi, tercatat relatif baik dan stabil, rasio Biaya Operasional dibandingkan dengan Pendapatan Operasional tercatat sebesar 76,29%.
Kondisi di Pasar Saham, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) cenderung menguat, didorong oleh penguatan di sektor properti, barang konsumsi, aneka industri, perdagangan dan keuangan selama Januari 2015. Peningkatan terbesar ada pada sektor properti. Namun di sisi lain, penurunan index terjadi pada sektor pertanian, industri dasar, infrastruktur dan pertambangan. Pelemahan index sektor pertanian dan pertambangan dipengaruhi oleh berlanjutnya tren penurunan harga komoditas dunia. Posisi Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksadana, per akhir Januari 2015 meningkat Rp 5,8 triliun (2,40%) dibanding bulan sebelumnya. Peningkatan tersebut berasal dari net subscription sebesar Rp 3,8 triliun dan kenaikan nilai Rp 2 triliun.
Nilai investasi industri perasuransian mengalami peningkatan sebesar 2,12%, yaitu dari Rp 616,2 triliun di November 2014 menjadi Rp 616,2 triliun di Desember 2014. Nilai investasi dana pensiun meningkat sebesar sebesar 0,91%, yaitu dari Rp 178,7 triliun menjadi Rp 180,4 triliun. Pertumbuhan piutang pembiayaan pada Desember 2014 melambat, aset perusahaan pembiayaan per Desember 2014 meningkat 1,90% (mtm) menjadi Rp 420,4 triliun, piutang pembiayaan meningkat 5,22% (yoy) menjadi Rp 366,2 triliun. Penyaluran piutang pembiayaan, tercermin dari Financing-to-Asset Ratio yang turun menjadi 87,10%.
Risiko Likuiditas Lembaga Jasa Keuangan, secara umum berada pada level yang relatif rendah. Kondisi likuiditas perbankan masih terjaga meski terdapat peningkatan potensi risiko likuiditas, perlu tetap diwaspadai masih tingginya ketergantungan terhadap dana pendanaan non-inti dan deposan inti, sementara rasio kecukupan investasi asuransi masih memadai.
Kesimpulanya adalah industri keuangan regional di Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat bagus, dengan  salah satu program seperti branchless banking yang berguna untuk solusi meningkatkan financial inclusion. Sedangkan untuk industri keuangan global tidak stabil hal ini bisa berdampak buruk bagi industri keuangan di Indonesia salah satunya dalah ikut tidak stabilnya harga-harga pokok yang di akibatkan jjuga dari kenaikan harga BBM
Sumber: