Jumat, 28 Desember 2012

Review III - KOPERASI DAN KORPORASI AGRIBISNIS



KOPERASI DAN KORPORASI PETANI:
KUNCI PEMBUKA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS
BERDAYA SAING, BERKERAKYATAN, DAN
BERKEADILAN
Rudi Wibowo1


KOPERASI DAN KORPORASI AGRIBISNIS
Institutional building sebagai prasyarat keharusan dalam pengembangan agribisnisyang bagian terbesar pelakunya petani “kecil dan gurem” adalah bangun koperasi dankorporasi agribisnis. Secara substansial, upaya kelembagaan tersebut pada dasarnya dapatdipandang sebagai langkah menuju rekonstruksi ulang dalam penguasaan dan aksessumberdaya produktif di bidang pertanian, terutama berkaitan dengan pengembanganagribisnis. Koperasi lebih merupakan soft-step reconstruction, sementara korporasi lebihmerupakan rekonstruksi yang lebih “radikal”, atau hard-step reconstruction.Bangun kelembagaan koperasi dipandang salah satu sosok yang tepat, mengingat entitas tersebut berciri sebagai asosiasi (perkumpulan orang/petani), badan usaha dan jugasebagai suatu gerakan (untuk melawan penindasan ekonomi dan ketidakadilan sistem pasar).Sejarah koperasi di Indonesia memang penuh dengan romantika sebagai akibat “terlampaukuatnya” dukungan pemerintah dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga dalambanyak hal menjadikan sosok koperasi di Indonesia sempat “kehilangan” jati dirinya. Dikalangan masyarakat sendiri, masih beragam pendapat tentang eksistensi koperasi dalamsistem ekonomi Indonesia saat ini. Sebagian apatis, sehingga memerlukan pengkajian ulangmengenai eksistensi koperasi dalam sistem ekonomi Indonesia. Sebagian lain memandangkoperasi sebagai entitas yang perlu dikembangkan, walaupun seadanya saja. Sementara itu,berbagai pendapat lain merasa penting untuk mengembangkan koperasi sebagai sosokkelembagaan ekonomi yang kokoh bagi pemberdayaan masyarakat8. Pendapat terakhir iniArief, Sritua., 1997. Pembangunan dan Ekonomi Indonesia: Pemberdayaan Rakyat dalam ArusGlobalisasi. CPSM, Bandung.meyakini bahwa koperasi sebagai upaya kelembagaan dapat merupakan instrumen bagiupaya restrukturisasi ekonomi pertanian, untuk mewujudkan keseimbangan dalampenguasaan sumber-sumber ekonomi pertanian. Ada dua argumen yang melandasi pendapatini, yaitu (a) secara kolektif, koperasi dapat menghimpun para pelaku ekonomi pertaniandalam menjual produk-produk yang dihasilkannya dengan posisi tawar yang baik, dan (b)koperasi secara organisasi dapat menjadi wadah yang bertanggungjawab bagi kebutuhanpengadaan saprotan maupun kebutuhan lain secara bertanggungjawab pula.Walaupun demikian, ke depan, usaha-usaha untuk mengatasi berbagai masalah yangdihadapi bagi pengembangan agribisnis di perdesaan tahap awal tetap masih membutuhkan“ulur tangan” (kebijakan pemihakan) pemerintah secara langsung, akan tetapi denganpengertian bentuk “ulur tangan” pemerintah tersebut harus ditempatkan dalam upayapengembangan iklim berusaha yang sesuai. Misalnya, pengembangan program dan metodapenyuluhan pertanian yang diarahkan kepada upaya pengembangan orientasi dankemampuan kewirausahaan, yang lebih mencakup substansi manajemen usaha danpenyesuaian terhadap materi-materi di bidang produksi dan pemasaran. Dalam hubungan inimaka pola magang dan sistem pencangkokan manajer dapat menjadi alternatif yangdipertimbangkan.Masalah kelangkaan kapital yang seringkali menjadi kendala pengembanganagribisnis memerlukan kebijakan secara lebih hati-hati. Pemberian kredit yang murahseringkali justru dapat berakibat buruk bagi perkembangan kegiatan usaha dalam jangkapanjang, jika tidak diikuti dengan upaya-upaya pengendalian yang baik. Alternatif yangdinilai lebih sesuai adalah dengan mengembangkan koperasi agribisnis yang menyediakanfasilitas kredit yang mudah, yaitu kredit yang memiliki kemudahan dalam perolehannya,kesesuaian dalam jumlah, waktu serta metode peminjaman dan pengembaliannya.Disamping itu pemberian kredit tersebut perlu di atur sedemikian sehingga kemungkinan reinvestasidan keberhasilan usaha dapat lebih terjamin. Dalam hal ini bentuk supervisedcredit dapat menjadi alternatif model pemberian kredit. Banyak contoh sukses koperasikredit di bidang agribisnis yang kuat dan besar, seperti Credit Agricole di Perancis,Rabobank di Belanda, dan lain-lain.Pengembangan agribisnis dengan agro-industri perdesaan juga perlu didukung olehkelembagaan yang sesuai, mengingat kerakteristiknya yang sangat beragam. Dalamkelembagaan usaha tersebut misalnya, perlu dikaji kombinasi optimal dari penguasaan danpemanfaatan skala usaha dengan efisiensi unit usaha, sesuai dengan sifat kegiatan yangdilakukan. Salah satu contoh, jika kegiatan agroindustri memang akan lebih efisien apabiladilakukan dalam skala yang relatif kecil, maka pengembangan kegiatan usaha individualperlu didorong. Akan tetapi untuk kegiatan pengangkutan yang memerlukan skala kegiatanyang lebih besar, perlu dipertimbangkan suatu unit kegiatan yang sesuai pula. Dengandemikian, dimungkinkan terjadinya kondisi dimana kegiatan agroindustri dilakukan secaraindividual (tidak harus dipaksakan berada dalam unit kegiatan koperasi misalnya), tetapipara agroindustriawan tersebut bersama-sama membentuk koperasi, atau unit usaha koperasidalam bidang pengangkutan. Hal-hal semacam memerlukan penelaahan lebih lanjut secaramendalam, dikaitkan dengan sosok spesifik unit usaha yang dikembangkan dalam koperasiagribisnis tersebut.Oleh karena itu, dalam operasionalisasi pengembangan agribisnis/agroindustri ditingkat lokalita (kawasan perdesaan) akan dijumpai pula kondisi yang sangat beragam baik dari segi agroekosistem, sarana dan prasarana maupun kondisi sosial budayanya.Keragaman-keragaman tersebut jelas menghendaki rancang bangun kelembagaan yangmampu mengoptimalisasikan kinerja manajemen maupun teknologi. Dalam hal ini, beberapacontoh berkembangnya model-model kelembagaan agribisnis seperti SPAKU, KUBA, Desa Cerdas Teknologi, ULP2, Gerakan Kemitraan, Inkubator, Klinik Tani/Agribisnis, AsosiasiasosiasiPetani, pemanfaatan tenaga-tenaga perekayasa profesional yang berfungsi sebagaikonsultan dan nara sumber, harus dipandang sebagai langkah esensial untukmengakumulasikan modal sosial (social capital) yang harus terus-menerus didorong sebagaiembrio dalam mewujudkan institutional building yang akan memperkokoh posisi tawarpetani dalam agribisnis.Dalam pada itu, korporasi petani dalam bidang agribisnis telah menjadi wacana dandiskusi publik sebagai suatu institutional building. Pesan yang lebih menonjol adalah padalingkungan petani perkebunan (khususnya tebu-gula di BUMN perkebunan) di Jawa Timur.Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: Apakah pola BUMN perkebunan seyogyanyadiprivatisasi menjadi swasta murni seperti kecenderungan yang ada, ataukahmengembangkan alternatif berupa korporasi masyarakat (petani) sebagai pemilik utamaperkebunan tersebut? Banyak argumen yang membimbing kecenderungan rekonstruksiagribisnis tebu-gula tersebut, antara lain (a) besarnya biaya produksi kebun tebu, 60-70persen, (b) memudarnya persenyawaan kepentingan antara subyek petani/rakyat,pemerintah/principal dan manajemen BUMN, (c) lemahnya reinvestasi baru yang dilakukanBUMN, (d) institusi korporasi dianggap paling tepat dalam penyelesaian asymetric poweryang selama ini terjadi, (e) the best product hanya akan dihasilkan oleh the best community,(f) rigiditas pabrik dan fleksibilitas pilihan pemanfaatan lahan petani9.Korporasi masyarakat (petani agribisnis) pada dasarnya adalah perusahaan yangdimiliki oleh masyarakat (petani agribisnis). Korporasi masyarakat pada dasarnya akanmenjadi kuat manakala memanfaatkan segenap social capital yang ada pada masyarakattersebut. Contoh yang dikemukakan adalah pelajaran dari pengalaman empirik perusahaanAmerican Crystal Sugar Company (ACSC) yang dibeli oleh 1300 petani pada tahun 1973melalui NYSE senilai US$ 86 juta. Sejak saat itu, ACSC berkembang pesat, baik dalamareal, produksi, rendemen, kepemilikan petani, dan joint ventures10. Demikian pula,pelajaran yang dikembangkan di Malaysia dalam merestrukturisasi kepemilikan sahammelalui skema Amanah Saham Nasional tampaknya dapat menjadi bahan pengkajian11.
9 Agus Pakpahan, 2004. Op cit. halaman 115
10 Agus Pakpahan, 2004. Op cit. halaman 116.
11 Arief, Sritua, 1997. Op cit. Halaman 208.
Mengembangkan kelembagaan-kelembagaan di atas sebagai landasan gerakpengembangan agribisnis bagi para petani di perdesaan bukanlah merupakan hal yang mudahdan sederhana. Dibutuhkan dukungan kebijakan pemihakan yang lebih kuat, tidak cenderungberorientasi kepada yang kuat, tetapi lebih kepada yang lemah dan yang kurang berdaya (theunder privileged). Kebijakan yang bersifat “netral” saja tidak cukup dalam pembangunanpertanian dan agribisnis, karena dibutuhkan pemahaman dan kepedulian akan masalah yangdihadapi oleh rakyat (petani) yang merupakan bagian terbesar di lapisan bawah. Untuk itu,pemerintahan memang harus mampu mengatasi hambatan psikologis, karena seringkalibirokrasi strata atas di banyak negara berkembang seperti Indonesia umumnya merupakankelompok elit suatu bangsa, yang tidak selalu tanggap dan mudah menyesuaikan diri ataumengasosiasikan diri dengan rakyat yang miskin dan terbelakang.



PENUTUP

Tulisan sederhana ini berusaha memperoleh “kejernihan” pemahaman pembangunanpertanian berwawasan agribisnis di Indonesia. Pelaku ekonomi pertanian sekaligus investorutamanya adalah berjuta petani sebagai “pengusaha” agribisnis berskala mikro dan kecil yang merupakan basis ekonomi kerakyatan, penopang ekonomi perdesaan dan sumberpenghasilan bagi sebagian besar masyarakat perdesaan. Sosok pertanian tersebut, --walaupunsangat potensial--, akan tetapi dihadapkan pada berbagai “tekanan” baik secara internaldomestikmaupun eksternal-globalisasi. Kedua realitas “tekanan” tersebut secara konsistentelah, sedang, dan akan terus meningkatkan “kegelisahan dan keprihatinan” petani danpertanian kita. Manakala tanpa upaya-upaya mendasar, pertanian dan agribisnis hanyalah akan menjadi “mimpi buruk” bagi bangsa ini.Salah satu upaya mendasar untuk menghindari “mimpi buruk” pembangunanpertanian dan agribisnis yang dikemukakan adalah mengembangkan upaya kelembagaan(institutional building). Institusi atau kelembagaan adalah suatu rules yang merupakanproduk dari nilai, yang diharapkan terus berevolusi dan menjadi bagian dari budaya(culture). Hal itu merupakan prasyarat keharusan (necessary condition) untuk menjadi“kunci pembuka” pengembangan agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan danberkeadilan. Secara operasional, sosok koperasi agribisnis dan korporasi (masyarakat)agribisnis dipandang sebagai bangun kelembagaan yang mampu berperan dalammewujudkan pembangunan pertanian sebagaimana yang di-visi-kan.Mewujudkan upaya di atas tidaklah mudah dan sederhana. Karakteristik, keunikandan keragaman yang tinggi pada berbagai kegiatan agribisnis di satu pihak, serta dinamikapermintaan dan konsumsi yang sangat tinggi memerlukan manajemen pengelolaan yangterintegrasi sebagai suatu syarat kecukupan (sufficient condition).Diyakini, kunci utama untuk dapat memanfaatkan segenap social capital yang adapada masyarakat adalah terletak pada kualitas sumberdaya manusia. Dalam hal ini yangterpenting adalah bagaimana membangun SDM yang ada (dengan latar belakang dankualitas yang berbeda-beda) menjadi suatu team work yang harmonis. Banyak persoalaninefisiensi kelembagaan yang disebabkan oleh ketidak-harmonisan SDM yang terlibat didalamnya.






Referensi Kepustakaan
Anonim, 2002. Pembangunan Sistem Agribisnis Sebagai Penggerak Ekonomi Nasional,
Departemen Pertanian, Jakarta.
_______, 2003. Ekonomi Kerakyatan Dalam Kancah Globalisasi. Kantor Kementerian
Koperasi Usaha Kecil dan Menengah.
Arief, Sritua., 1997. Pembangunan dan Ekonomi Indonesia: Pemberdayaan Rakyat
dalam Arus Globalisasi. CPSM, Bandung.
Arifin, B. 2004. Menterjemahkan Keberpihakan Terhadap Sektor Pertanian: Suatu
Telaah Ekonomi Politik. Dalam: Rudi Wibowo dkk (Ed)., Rekonstruksi dan
Restrukturisasi Pertanian. PERHEPI, Jakarta 2004.
Baharsjah, S. 1996. Kemitraan Dalam Pembangunan Nasional Memasuki Abad 21 :
Peningkatan Ekonomi Pertanian. Makalah disampaikan pada Simposium Nasional
Cendekiawan Indonesia Ke III. Jakarta, 27-28 Agustus 1996
Chairil Anwar Rasahan dan Rudi Wibowo, 1996. Pemantapan Kebijakan Pemba-ngunan
Pertanian Yang Mendukung Meningkatnya Kemandirian dan Daya Saing
Pertanian. Kertas Makalah pada Konpernas Perhepi XII. Denpasar 7-9 Agustus
1996.
Departemen Pertanian, 2002. Penjabaran Program dan Kegiatan Pembangunan
Pertanian 2001-2004. Departemen Pertanian, Jakarta.
Korten, David C., 1980, Community Organization and Rural Development : A Learning
Process Approach, dalam Public Administration Review, No.40 tahun 1980
Krisnamurthi, B., 2003. Analisis Grand Strategy Pembangunan Pertanian:
Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis dan Implementasi Pembangunan
Pertanian. Makalah, disampaikan pada Lokakarya Penyusunan Evaluasi Kinerja
Pembangunan Pertanian. Jakarta, 10-11 Desember 2003.
Menteri Pertanian RI., 2000. Memposisikan Pertanian Sebagai Poros Penggerak
Perekonomian Nasional. Departemen Pertanian, Januari 2000.
Pakpahan., 2004. Petani Menggugat. Max Havelaar Indonesia dan GAPPERINDO,
Jakarta.
Rudi Wibowo., 1999. Refleksi Teori Ekonomi Klasik Dalam Manajemen Pemanfaatan
Sumberdaya Pertanian Pada Milenium Ke Tiga. Dalam Refleksi Pertanian
Tanaman pangan dan Hortikultura. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
__________., 2001. Mewujudkan Visi Agribisnis Berdaya Saing Melalui
Pembangunan Wilayah Yang Selaras Dengan Alam. Orasi Ilmiah Guru Besar
Ekonomi Pertanian Universitas Jember. Jember, 12 Nopember 2001.
14
___________. 1999. Etika Pembangunan Sumberdaya Pertanian Menuju
Pembangunan Berkelanjutan. Dalam Rudi Wibowo (ed). 1999. Refleksi
Pembangunan Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Nusantara. Penerbit Sinar
Harapan, 1999.
___________, 2000. Perspektif Manajemen Pembangunan Pertanian Indonesia. Jurnal
Agribisnis Volume IV Nomor 1. Januari-Juni 2000. JUBC, Pusat Bisnis Universitas
Jember.
___________, Bayu Krisnamurthi dan Bustanul Arifin., (ed). 2004. Rekonstruksi dan
Restrukturisasi Pertanian. Beberapa Pandangan Kritis Menyongsong Masa Depan.
PERHEPI, Jakarta.
Saragih, B. (2000). Karakteristik Agribisnis dan Implikasinya Bagi Manajemen
Agribisnis (Agribusiness Characteristics and its Implication to Agribusiness
Management). Jurnal Agribisnis Volume IV Nomor 1. Januari-Juni 2000. JUBC,
Pusat Bisnis Universitas Jember.
Soetrisno, N., 2003. Menuju Pembangunan Ekonomi Berkeadilan Sosial. STEKPI,
Jakarta.
___________, 2003a. Kewirausahaan Dalam Pengembangan UKM di Indonesia. Dalam:
Ekonomi Kerakyatan Dalam Kancah Globalisasi. Kantor Kementerian Koperasi
Usaha Kecil dan Menengah.
___________, 2001. Rekonstruksi Pemahaman Koperasi. Merajut Kekuatan Ekonomi
Rakyat. INTRANS, Jakarta.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar