Jumat, 28 Desember 2012

Review II - INSTITUTIONAL BUILDING: UPAYA MEMBERDAYAKAN PETANI





KOPERASI DAN KORPORASI PETANI:
KUNCI PEMBUKA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS
BERDAYA SAING, BERKERAKYATAN, DAN
BERKEADILAN
                                                                   
Rudi Wibowo1



INSTITUTIONAL BUILDING: UPAYA MEMBERDAYAKAN PETANI
Upaya mewujudkan pembangunan pertanian (agribisnis) masa mendatang adalahsejauh mungkin mengatasi masalah dan kendala kritikal yang sampai sejauh ini belummampu diselesaikan secara tuntas sehingga memerlukan perhatian yang lebih serius. Satu hal yang sangat kritis adalah bahwa meningkatnya produksi pertanian (agribisnis) selama inibelum disertai dengan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani secara signifikan.Petani sebagai unit agribisnis terkecil belum mampu meraih nilai tambah yang rasionalsesuai skala usaha tani terpadu (integrated farming system). Oleh karena itu persoalanmembangun kelembagaan (institution) di bidang pertanian dalam pengertian yang luasmenjadi semakin penting, agar petani mampu melaksanakan kegiatan yang tidak hanyamenyangkut on farm bussiness saja, akan tetapi juga terkait erat dengan aspek-aspek off farm
agribussinessnya.Jika ditelaah, walaupun telah melampaui masa-masa kritis krisis ekonomi nasional,saat ini sedikitnya kita masih melihat beberapa kondisi yang dihadapi petani di dalammengembangkan kegiatan usaha produktifnya, yaitu:
_ Akses yang semakin kurang baik terhadap sumberdaya (access to resources), sepertiketerbatasan aset lahan, infrastruktur serta sarana dan prasarana penunjang kegiatanproduktif lainnya;
_ Produktivitas tenaga kerja yang relatif rendah (productive and remmunerativeemployment), sebagai akibat keterbatasan investasi, teknologi, keterampilan danpengelolaan sumberdaya yang effisien;
_ Perasaan ketidakmerataan dan ketidakadilan akses pelayanan (access to services)sebagai akibat kurang terperhatikannya rangsangan bagi tumbuhnya lembagalembagasosial (social capital) dari bawah;
_ Kurangnya rasa percaya diri (self reliances), akibat kondisi yang dihadapi dalammenciptakan rasa akan keamanan pangan, pasar, harga dan lingkungan.Secara klasik sering diungkapkan bahwa penyebab utama ketimpangan pendapatan dalam pertanian adalah ketimpangan pemilikan tanah. Hal ini adalah benar, karena tanahtidak hanya dihubungkan dengan produksi, tetapi juga mempunyai hubungan yang eratdengan kelembagaan, seperti bentuk dan birokrasi dan sumber-sumber bantuan teknis, jugapemilikan tanah mempunyai hubungan dengan kekuasaan baik di tingkat lokal maupun di tingkat yang lebih tinggi. Manfaat dari program-program pembangunan pertanian diperdesaan yang datang dari “atas” tampaknya hanya jatuh pada kelompok pemilik tanah,sebagai lapisan atas dari masyarakat desa. Sebagai contoh, program kredit dengan jaminantanah serta bunga modal, subsidi paket teknologi produksi, bahkan kontrol terhadapdistribusi pengairan dan pasar lokal juga dilakukan oleh kelompok ini. Di lain pihak,pelaksanaan perubahan seperti landreform, credit reform dan sebagainya yang memangsecara substansial diperlukan sebagai suatu cara redistribusi asset masih merupakan isyuyang kurang populer. Berbagai langkah terobosan sebagai suatu upaya kelembagaan gunamemecahkan permasalahan di atas yang  dikembangkan seperti pengembangan sistemusahatani sehamparan, pola PIR dan sebagainya, sama sekali belum memecahkan problemsubstansial yang oleh Boeke diungkapkan sebagai "dualisme".Dalam pada itu, karakteristik perdesaan seringkali ditandai dengan pengangguran,produktifitas dan pendapatan rendah, kurangnya fasilitas dan kemiskinan. Masalah-masalahpengangguran, setengah pengangguran dan pengangguran terselubung menjadi gambaranumum dari perekonomian saat ini. Pada waktu yang sama, terjadi pula produktifitas yangrendah dan kurangnya fasilitas pelayanan penunjang. Rendahnya produktifitas merupakanciri khas di kawasan perdesaan. Pada umumnya, sebagian besar petani dan para pengelolaindustri perdesaan, bekerja dengan teknologi yang tidak berubah. Investasi modal pada masasebelum krisis lebih banyak diarahkan pada industri perkotaan daripada di sektor pertanianperdesaan. Sebagai konsekuensinya, perbedaan produktifitas antara petani perdesaan denganpekerja industri perkotaan semakin besar senjangnya. Hal ini merupakan masalah yangbanyak dibicarakan dalam menyoroti ketimpangan antara perkotaan dan perdesaan, pertania dan bukan pertanian.Pelayanan publik bagi adaptasi teknologi dan informasi terutama untuk petani pada kenyataannya sering menunjukkan suasana yang mencemaskan. Di satu pihak memangterdapat kenaikan produksi, tetapi di lain pihak tidak dapat dihindarkan terjadinya
pencemaran lingkungan, terlemparnya tenaga kerja ke luar sektor pertanian yang tidaktertampung dan tanpa keahlian/ketrampilan lain, ledakan hama karena terganggunyakeseimbangan lingkungan dan sebagainya. Manfaat teknologipun seringkali masih dirasakanlebih banyak dinikmati pemilik aset sumberdaya (tanah) sehingga pada gilirannya justrumenjadi penyebab utama dalam mempertajam perbedaan pendapatan dan mempercepatpolarisasi dalam berbagai bentuk. Perasaan ketidak-amanan dan kekurang-adilan akibatberbagai kebijakan dan kebocoran (misalnya kasus impor illegal, dumping, pemalsuan danketiadaan saprotan, keracunan lingkungan, jatuhnya harga saat panen dan lainnya) seringkalimenjadi pelengkap rasa tidak percaya diri (dan apatisme berlebihan) pada sebagian petani.Tinjauan holistik dengan memperhatikan kondisi berbagai aspek kehidupan pertaniandan perdesaan seperti diuraikan disini, menunjukkan bahwa inti esensi dari prosespembangunan pertanian dan perdesaan adalah transformasi struktural masyarakat perdesaandari kondisi perdesaan agraris tradisional menjadi perdesaan berbasis ekologi pertaniandengan pengusahaan bersistem agribisnis, yang menjadi inti dari struktur ekonomi perdesaanyang terkait erat dengan sistem industri, sistem perdagangan dan sistem jasa nasional danglobal.Mencermati situasi di atas, jelas sangat diperlukan upaya-upaya pengembanganagribisnis yang lekat dengan peningkatan pemberdayaan (empowering) masyarakat agribisnis terutama skala mikro dan kecil dalam suatu kebijakan yang “berpihak”.Keberpihakan kebijakan semacam itu sangat (baca: mutlak) diperlukan untuk mengatasiberbagai kendala dan tantangan pengembangan agribisnis yang berorientasi ekonomikerakyatan, keadilan, dan sekaligus meningkatkan daya saing dalam iklim “kebersamaan”pelaku-pelaku ekonomi lainnya. Untuk itu, sebagai prasyarat keharusan diperlukan suatu iklim kebijakan yang mendorong terbangunnya institusi (kelembagaan) yang mampumeningkatkan posisi petani menjadi bagian dari suatu kebersamaan entitas bisnis, baikdalam bentuk kelompok usaha bersama, koperasi, korporasi (community corporate) ataupunshareholder. Upaya kelembagaan tersebut diyakini akan dapat menjadi nilai (value) baru,semangat baru bagi petani untuk terutama dapat melonggarkan keterbatasanketerbatasannya,seperti akses terhadap sumberdaya produktif (terutama lahan), peningkatanproduktivitas kerja, akses terhadap pelayanan dan rasa keadilan, serta meningkatkan rasapercaya diri akan lingkungan yang aman, adil dan transparan.Manifestasi dan implementasi dari upaya kelembagaan tersebut pada dasarnyabukanlah mudah dan sederhana. Sebagai suatu rules atau nilai dan semangat baru dalampembangunan pertanian ke depan, seyogyanya mengandung berbagai ciri pokok danmendasar. Pertama, upaya kelembagaan tersebut diharapkan menjadi pendorong terciptanyathe same level playing field bagi petani dan pelaku ekonomi lainnya, berdasarkan “aturanmain” yang fair, transparent, demokratis dan adil. Kedua, upaya kelembagaan tersebutmampu mendorong peningkatan basis sumberdaya, produktivitas, efisiensi dan kelestarianbagi kegiatan-kegiatan produktif pertanian, yang pada gilirannya akan meningkatkanpendapatan dan kesejahteraan petani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar