KOPERASI
DAN KORPORASI PETANI:
KUNCI
PEMBUKA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS
BERDAYA
SAING, BERKERAKYATAN, DAN
BERKEADILAN
Rudi
Wibowo1
PENDAHULUAN
Dalam era transisi demokratisasi saat
ini, secara nasional tampak ada keinginansangat kuat untuk mengangkat derajad
kesejahteraan petani yang selama ini merupakanbagian terbesar masyarakat yang
“tertinggal” dalam pembangunan. Tekad tersebut palingtidak terlihat dari jargon-jargon
umum para calon pemimpin negara masa depan dalamkampanye pemilihan presiden
di bulan Juni 2004 ini. Jika benar bahwa jargon-jargontersebut akan menjadi
landasan kebijakan pemerintahan masa depan ini, maka hal itu berartiakan
menempatkan pembangunan nasional dalam mainstream pembangunan
pertanian,dengan petani sebagai subyek utamanya. Hal ini mengingat besarnya
potensi sumberdaya(resource endowment) dan besarnya masyarakat Indonesia
yang bergantung pada bidangpertanian dalam arti luas. Ke depan, pertanian
berwawasan agribisnis mestinya diletakkanpada posisi sentral di dalam
pembangunan ekonomi, pertanian dan perdesaan.Menggarisbawahi hal itu, para
ekonom pertanianpun pada akhir bulan Mei 2004 yang lalutelah mengingatkan para
calon pemimpin nasional dalam konklusi konperensi nasionalnyadengan bagian
rumusan terpentingnya sebagai berikut.
Rekonstruksi
dan restrukturisasi pertanian Indonesia akan sangat tergantungpada bagaimana
pemimpin bangsa mendudukkan pertanian dalam kerangkapembangunan nasional. Harus
ada pandangan normatif pemimpin bangsayang berani mengambil posisi yang jelas
dengan sikap: “ ……apabilaterdapat berbagai kepentingan pembangunan, dan
kepentingan yang lainbertentangan dengan keperluan pembangunan pertanian, maka
kepentinganyang lain itu harus ditunda………”.2
Peringatan
dari para ekonom pertanian tersebut menjadi amat sangat penting bagikeseluruhan
bangsa ini,--terutama bagi para pemimpin pengelola negara mendatang—untukmenyongsong
masa depan yang lebih baik. Mengapa demikian? Indonesia
sebagaimananegara-negara agraris berkembang lain, bagian terbesar potensinya
adalah sumberdayapertanian dengan bahagian terbesar penduduknya para petani,
akan tetapi sejauh ini justrubelum menunjukkan peningkatan kehidupan dan
kesejahteraan mereka. Banyak buktimenunjukkan kecenderungan itu. Secara makro
misalnya, ketidak-serasian karena tajamnyapenurunan Gross Domestic Product pertanian
(dari sekitar 80% GDP nasional di tahun1 Sekjen PERHEPI 2004-2007 dan Guru
Besar Ekonomi Pertanian Universitas Jember.2 Dicuplik dari Rumusan Konperensi
Nasional PERHEPI ke XIV di Jakarta, 28-29 Mei 2004.2
1950-an
menjadi hanya 17% di awal milenium ini) dibanding lambatnya penurunan shareketenagakerjaannya
(dari sekitar 90% di tahun 1950-an menjadi 46% di awal milenium ini)menunjukkan
betapa rendahnya produktivitas kerja di bidang pertanian ini, dibanding
sektorindustri yang meningkat pesat produktivitasnya. Globalisasi tampaknya
juga tidak berpihakpada pertanian, dengan terjadinya kecenderungan konsisten
penurunan harga-harga riilproduk primer pertanian3. Konsistensi penurunan
harga-harga produk primer pertaniantersebut secara agregat tentu akan
menyulitkan posisi petani dan pertanian masa depan.Petani, sebagai the real
investors seringkali tidak menjadi perhatian dan bahkan diabaikanoleh
pengambil kebijakan. Pengambil kebijakan tampaknya masih friendly dengan
parapengusaha besar dan sektor di luar pertanian. Misalnya, tahun 2003 lalu
Bank Indonesiamencatat bahwa jumlah kredit investasi sektor pertanian Rp 10,3
triliun dari total Rp 54,6trilyun atau sekitar 18,8 persen, sedangkan kredit
modal kerja sektor pertanian hanya Rp10,3 triliun dari total Rp 157,6 triliun
atau sekitar 6,53 persen. Sektor pertanian tidak hanyamemerlukan tingkat suku
bunga yang tepat, tetapi juga akses dan kemudahan lain yang dapatdimengerti
oleh pelaku sektor pertanian4. Dalam pada itu, secara mikro-wilayah
banyakimplementasi pembangunan pertanian yang masih menjadi keprihatinan,
misalnya semakinterbatasnya penguasaan dan skala usaha akibat konversi
terus-menerus lahan produktifpertanian ke bukan-pertanian, teknologi yang
relatif stagnan dan “miskin” terobosan baru,serta kecenderungan keterpisahan (decoupling)
pertanian antar-skala dan antar-wilayah, baikhorisontal maupun
vertikal.Mencermati keadaan di atas, tulisan sederhana ini ingin mengajukan
pemikiran ataukonsepsi dasar bagi pembangunan pertanian masa depan, terutama
dikaitkan dengan upayakelembagaan (institutional building). Upaya
kelembagaan tersebut menjadi sangat penting,terutama dalam rangka
mengakselerasi modal sosial bagi kebutuhan pembangunan ekonomipertanian yang
berdaya saing, lebih demokratis, berkerakyatan, sehingga diharapkan
lebihmensejahterakan petani sebagai pelaku utama pembangunan pertanian.
Mudah-mudahan,pengelola negara masa depan pasca pemilu 2004 ini
mengkontemplasikannya menjadilandasan kebijakan pembangunan ekonomi nasional
mendatang, dan merealisasikannya dilapangan.
AGRIBISNIS
SEBAGAI A NEW PARADIGM
Mendalami
potret pembangunan pertanian berwawasan agribisnis saat ini, secaranasional
masih sungguh-sungguh memprihatinkan. Agribisnis yang sejak tahun 80-an secaranasional
telah diposisikan sebagai a new way to look agriculture, a new
agricultureparadigm, ternyata pada tingkatan konsepsional saja masih banyak
menyimpan berbagai3 Periksa Agus Pakpahan, 2004. Petani Menggugat, Bab VII,
halaman 123-132. Diterbitkan oleh Max HavelaarIndonesia dan GAPPERINDO.
Mengambil data World Bank, dengan nilai indeks tahun 1990=100, jika
padatahun 1960 indeks harga dunia produk pertanian agregat 208, maka pada awal
milenium ini menurun drastismenjadi 87. Penurunan yang sama juga terjadi pada
makanan, minuman dan bahan baku lainnya.4 Bustanul Arifin, 2004. Menterjemahkan
Keberpihakan Terhadap Sektor Pertanian: Suatu Telaah EkonomiPolitik. Dalam:
Rudi Wibowo dkk (Ed)., Rekonstruksi dan Restrukturisasi Pertanian. PERHEPI,
Jakarta 2004.3kesalah-pengertian dan pemahaman bagi sementara pihak, sehingga
implementasinyapunmenjadi jauh dari hakikat tujuan pengembangan agribisnis itu
sendiri. Sebagai buzz-word,agribisnis memang telah sangat populer.
Terminologinya telah ‘membudaya’ sejak pucukpimpinan negara, berbagai pertemuan
ilmiah dan seminar, dokumen-dokumen pemerintahanhingga ke tingkat penyuluh dan
bahkan masyarakat umum. Akan tetapi, implementasikonsepsi agribisnis tersebut
ternyata tidak sejalan dengan popularitas istilahnya.Sebagai suatu paradigma
berfikir baru, agribisnis pada dasarnya menekankan padacara pandang yang
melepaskan diri dari sebuah “tradisi” konvensional yang selama inidianut,
ketika membicarakan pertanian. Pertanian tidak hanya dipandang sebagai
suatusistem kegiatan on-farm semata-mata, akan tetapi mencakup berbagai
subsistem dalamkeseluruhan sistem, yang disebut agribisnis5. Bagi Indonesia
khususnya, agribisnis bukanlahsekedar bertujuan untuk membuat kegiatan
pertanian menjadi berdaya saing saja (sehinggamampu berkompetisi dalam arena
global), akan tetapi lebih penting dari itu harus mampumembuat petani lebih
produktif dan sejahtera. Namun demikian, pada tataran konsepsionalsaja, saat
ini kita masih banyak menghadapi atau menjumpai kesalah-pengertian tentang
apayang dimaksud dengan agribisnis tersebut. Beberapa kesalah-pengertian
tersebut antara lain:
_
Agribisnis diartikan sebagai suatu kegiatan pertanian komersial, atau petani
yangberbisnis atau sekedar berorientasi pasar. Pengertian tersebut
menghilangkan makna“sistem” dan keterkaitan antar subsistem, yang menjadi
“sukma” bagi wawasanagribisnis itu sendiri;
_
Agribisnis hanya diartikan sebagai perusahaan-perusahaan besar di bidang
pertanian,sehingga memperkecil pengertian dan lingkup kesistemannya;
_
Agribisnis hanya dipandang sebagai suatu “program” bagi kementerian
pertanian,sehingga menghilangkan esensinya sebagai a new paradigm.
_
Agribisnis diartikan sebagai sektor yang berkonotasi sempit, dan
lainnya6.Kesalah-pengertian makna tersebut tampaknya telah menjadi salah satu
sebab“bias”nya sementara pihak dalam mendalami dan mencermati secara benar
problemapertanian. Masalah pertama, utama dan mendasar yang dihadapi bangsa
dalam pertanian
5
Para ahli ekonomi pertanian umumnya “menyepakati” bahwa suatu sistem agribisnis
yang lengkap terdiri atas:
(1)
Sub-sistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness) yakni kegiatan
industri dan perdagangan yang
menghasilkan
sarana produksi usahatani seperti pembibitan, agro-kimia, agro-otomotif, agri-equipment;
(2)Sub-sistem usahatani (on-farm agribusiness), yakni kegiatan ekonomi
yang menggunakan sarana produksiusahatani untuk menghasilkan produk pertanian
primer (farm product); (3) Sub-sistem agribisnis hilir (downstreamagribusiness)
yakni kegiatan industri yang mengolah produk pertanian primer menjadi produk
olahan(intermediate, finished product) beserta perdagangannya (wholesaler,
retailer) dan konsumennya; dan (4) Subsistemjasa penunjang (agro-institution
and agro-service) yakni kegiatan yang menyediakan jasa bagi
agribisnisseperti perbankan, infrastruktur (fisik, normatif), Litbang,
pendidikan & penyuluhan/konsultasi, transportasi,dan lain-lain.
6
Beberapa statemen menunjukkan hal ini. Periksa Bayu Krisnamurthi, 2003: Analisis
Grand StrategyPembangunan Pertanian: Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis
dan Implementasi PembangunanPertanian. Juga Agus Pakpahan, op cit. Rudi
Wibowo, op cit. Beberapa statemen, dalam bahasa yang kuranglebih sama,
juga telah mengkritisi hal ini.4adalah semakin buram dan memprihatinkannya
potret kehidupan para petani. Struktur petanidan pelaku pertanian secara
nasional sangat beragam, demikian pula dengan bidangkegiatannya. Bagian
terbesar petani di Indonesia pada dasarnya dapat dikategorikan
dalamkarakteristik petani “gurem”baik buruh tani maupun yang subsisten
tradisional (peasant) danmasih semi komersial (pseudo-farmer), selain
sebagian kecil lain merupakan petaniberkarakteristik komersial dan perusahaan
pertanian atau perusahaan agribisnis baik dalamlevel nasional maupun multi-national
corporation.Sekitar sepuluh tahun lalu, Badan Pusat Statistik mencatat ada
sekitar 34.65 jutausaha mikro (98.1 persen dari total), usaha kecil (1.3
persen) menengah dan besar (0.6persen), dengan total tenaga kerja mencapai 67
juta orang. Pada tahun 2001, sebesar 57persen aset dikuasai usaha besar, dan
hanya 21 persen saja yang dikuasai usaha kecil, yangjustru mampu menyediakan
lapangan kerja sekitar 89 persen, dan menyumbang sekitar 41persen GDP. Bila
dilihat dari bidang pembangunannya, usaha mikro dan kecil di bidangpertanian
mempunyai kontribusi terbesar, yaitu 57 persen, industri 7 persen,
sertaperdagangan dan jasa sebesar 36 persen7. Saat ini, secara garis besar
struktur tersebut tidakbanyak berubah. Gambaran tersebut menjelaskan bahwa pola
agribisnis kita masih sangatdidominasi dan ditopang dari usaha pertanian rakyat
yang berskala kecil (“gurem”), dengantenaga kerja yang relatif “kurang trampil”
dan tersebar di berbagai wilayah tanpa ikatanskala. Sebagaimana telah
diungkapkan, kegiatan usaha tersebut seringkali masih belumsepenuhnya
berorientasi pasar-komersial dan bahkan sebagian masih cenderung
subsistentradisional,tentu dengan keragaman penggunaan teknologi yang sangat
tinggi.Dualistic problem dalam kegiatan pertanian sebagaimana
dipreposisikan Boeke tetapmenjadi masalah penting bagi pembangunan pertanian.
Oleh karena itu, ada kebutuhan yangsangat kritis untuk meluruskan atau
menjernihkan kesalah-pengertian tersebut, jika tidakingin dijumpai potret masa
depan petani dan pertanian yang semakin memprihatinkan padabangsa ini ke depan.
Bagian terbesar pelaku pertanian membutuhkan hakekat kebijakanyang sangat
berbeda dibandingkan dengan sebagian kecil lainnya, yang justru
“menguasai”berbagai sumberdaya produktif yang dibutuhkan bagi suatu pembangunan
pertanian yangberdaya saing seperti lahan, modal, teknologi dan informasi serta
manajemen. Tanpamenyentuh aspek utama tersebut, pembangunan pertanian kita
diyakini tidak akan mampumengatasi masalah dasar dan struktural dalam
pertanian. Misi inilah sebenarnya yangmenjadi landasan dari agribisnis sebagai
suatu paradigma baru dalam pembangunanpertanian kita.
7
Rudi Wibowo, 2004. Idealisasi Versus Fakta terciptanya Hubungan yang Saling
Menguntungkan
diantara
Dunia Perbankan dan Agribisnis. Makalah Seminar Optimalisasi Kemitraan
Agribisnis dan
Perbankan.
Jakarta, 26 April 2004. Periksa juga Noer Soetrisno, 2003. Menuju
Pembangunan Ekonomi
Berkeadilan
Sosial. STEKPI,
Jakarta.
_
5
Jika
disepakati bahwa agribisnis adalah cara pandang baru (a new paradigm)
bagi
bangsa
ini dalam membangun dan mengembangkan pertanian sesuai dengan hakekat
tujuandasarnya (baca: meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani) dengan
memperhatikanpotret petani dan pertanian di Indonesia yang sangat dualistik
saat ini, maka hal pertama danutama yang secara teoritis dibutuhkan adalah
upaya kelembagaan (institutional building)yang akan memampukan dan
memberikan landasan kondusif (enabling) bagiberkembangnya kehidupan
petani dan pertanian masa depan. Upaya kelembagaan tersebutharus dipandang
sebagai suatu prasyarat keharusan (necessary condition) bagi
suaturekonstruksi dan restrukturisasi ekonomi (pertanian) secara
menyeluruh.Berkembangnya prasyarat keharusan tersebut pada dasarnya merupakan
tugas utamapemerintah dalam mewujudkan keberpihakannya melindungi” dan “memberdayakan”
petanidan pertanian. Tanpa prasyarat keharusan tersebut, diyakini “Agribisnis
hanyalah sosokdendang yang populer, akan tetapi disenandungkan di atas rintihan
ketidak-berdayaan parapetani”. Segala bentuk upaya manajemen untuk
membangun kehidupan petani dan pertanianyang dilaksanakan tanpa menyentuh atau
mengkonstruksi ulang kelembagaan pertanian yangada, diyakini tidak substansial
sehingga tidak akan mampu mengatasi hakekat problemayang sedang dihadapi
pertanian dan bangsa ini. Sayangnya, upaya-upaya kelembagaan yangdilakukan
selama ini kurang tercermin sebagai penggerak utama dalam proses
pembangunanpertanian, sehingga posisi ekonomi petani tetap menempati stratum
terbawah dalamkonstelasi struktur ekonomi Indonesia saat ini, dan bahkan sedang
mengalami involusi yangmengkhawatirkan. Dibutuhkan kehadiran suatu kebijakan
sosial ekonomi yang mendasardan komprehensif dalam pembangunan agribisnis,
sebagai bagian dari proses pemberdayaanekonomi petani.
Upaya kelembagaan sebagai prasyarat
keharusan dalam membangun pertanian(agribisnis) berdaya saing dan berkeadilan
diharapkan dapat menjadi “kunci pembuka”.Akan tetapi, “kunci pembuka” inipun
diyakini tidak akan cukup tanpa adanya upaya-upayamanajemen dalam mengembangkan
agribisnis sesuai lingkungan internal maupuneksternalnya. Harus ada semacam
prasyarat kecukupan (sufficient condition) berupa upayamanajemen (management
building). Dinamika dan keragaman yang tinggi dalamkarakteristik lingkungan
produksi agribisnis tentu memerlukan antisipasi yang tinggi puladalam
mengeliminasi dampak-dampak yang tidak dikehendaki. Hal yang sama terjadi
dalamaspek sosial budaya yang juga terus mengalami perubahan, terutama dalam
kaitannya denganperilaku konsumsi (misalnya dari rumah tangga ke food
service industry, berkembangnyagrazing food dan street food serta
pendidikan dan pengetahuan masyarakat terhadapkesehatan dan kebugaran yang
sedang dan akan merubah cara-cara konsumen dalammengevaluasi suatu
produk).Jelas karakteristik dan kecenderungan perkembangan karakteristik
agribisnismempunyai implikasi penting dalam manajemen agribisnis. Oleh karena
itu, meningkatkankontribusi agribisnis dalam suatu konstruksi perekonomian
secara keseluruhan adalah samadengan membangun manajemen agribisnis dengan
memperhatikan karakteristik agribisnispada berbagai kondisi yang bersangkutan.
Salah satu contoh adalah, karakteristik proses6produksi dan produk agribisnis
yang berbasis pada proses biologis mengisyaratkan bahwapengusahaan agribisnis
haruslah terintegrasi secara vertikal. Hal ini memberi arti bahwasubsistem
agribisnis hulu, budidaya dan subsistem hilirnya diharapkan berada pada
satusistem manajemen yang integratif secara vertikal. Tuntutan integrasi
vertikal ini padadasarnya dilandasi oleh argumen teknis maupun argumen
finansial/ekonomi.Berdasarkan argumen teknis, antara kaitan sektor hulu-hilir
memiliki ketergantunganteknis yang sangat tinggi sesuai karakteristik produk
biologis. Untuk menghasilkan produkbawang merah dengan residu pestisida rendah
misalnya, tidak mungkin dicapai bila hanyamengandalkan kegiatan produksi pada
sektor hilir saja, tapi harus didukung oleh teknologibudidaya dengan penggunaan
pestisida seminimum mungkin (pada sektor budidaya).Teknologi budidaya seperti
itu hanya mungkin dilakukan bila bibit bawang merah yangdihasilkan pada sektor
hulu adalah bibit yang tahan penyakit dan produktivitas hasilnya tinggi (misalnya
teknologi bibit transgenic). Contoh ini menunjukkan perlunya
konsistensiproduk (jumlah, jenis, mutu, kontinuitas) yang hanya mungkin dicapai
bila sektor hulu, budidaya dan hilir dalam agribisnis dikelola dalam suatu
manajemen yang integratif. Dari segi ekonomi, tuntutan pengelolaan/pengusahaan
integrasi vertikal agribisnis pada dasarnya untuk menghilangkan (meminimumkan)
ketimpangan margin pada berbagaisektor hulu, budidaya dan hilirnya. Keadaan
buruk inilah yang seringkali terjadi padakegiatan agribisnis saat ini.
Agribisnis yang dikelola tidak secara integratif
(tersekat-sekat,sendiri-sendiri) memberi dampak masalah ketimpangan marjin, dan
biasanya sektor budidaya menjadi korban karena struktur ekonomi yang dualistik.
Informasi pasar (sebagaiakibat perubahan selera, konsumen, harga) tidak
ditransmisikan secara “adil” kepada sektorhilir, budidaya dan hulunya, bahkan
cenderung ditahan untuk memperkuat posisimonopsonistis pada sektor hulunya.
Selain itu, manajemen agribisnis yang tidak integratifakan mengakibatkan
ekonomi biaya tinggi pada sektor agribisnis, lebih-lebih dalam strukturekonomi
yang dualistik (sektor budidaya dengan petani dan UMKM, sektor hulu dan hilirdengan
industri besar).Manajemen agribisnis integrasi vertikal juga memungkinkan
agribisnis untukmeningkatkan penetrasi pasar (market penetration),
mengembangkan pasar (marketdevelopment) maupun pengembangan produk (product
development) melalui strategi-strategipemasaran 4P (price, product,
place, promotion). Karakteristik konsumen produk agribisnisyang sangat
dipengaruhi oleh aspek sosial budaya dan segala keragamannya,
memerlukandiffrensiasi 4P untuk peningkatan pangsa pasar. Dengan perkataan
lain, dengan manajemenintegrasi vertikal memungkinkan perusahaan agribisnis
untuk lentur dalam volume, mutuproduk, delivery, dan lain-lain untuk
menjawab perubahan lingkungan bisnis yang dihadapi.Inilah tantangan manajemen
sekaligus “tekanan” bagi petani dan pertanian kitamenyongsong masa depannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar