KOPERASI
DAN KORPORASI PETANI:
KUNCI
PEMBUKA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS
BERDAYA
SAING, BERKERAKYATAN, DAN
BERKEADILAN
Rudi
Wibowo1
INSTITUTIONAL
BUILDING:
UPAYA MEMBERDAYAKAN PETANI
Upaya mewujudkan pembangunan pertanian
(agribisnis) masa mendatang adalahsejauh mungkin mengatasi masalah dan kendala
kritikal yang sampai sejauh ini belummampu diselesaikan secara tuntas sehingga
memerlukan perhatian yang lebih serius. Satu hal yang sangat kritis adalah
bahwa meningkatnya produksi pertanian (agribisnis) selama inibelum disertai
dengan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani secara signifikan.Petani
sebagai unit agribisnis terkecil belum mampu meraih nilai tambah yang
rasionalsesuai skala usaha tani terpadu (integrated farming system).
Oleh karena itu persoalanmembangun kelembagaan (institution) di bidang
pertanian dalam pengertian yang luasmenjadi semakin penting, agar petani mampu
melaksanakan kegiatan yang tidak hanyamenyangkut on farm bussiness saja,
akan tetapi juga terkait erat dengan aspek-aspek off farm
agribussinessnya.Jika ditelaah,
walaupun telah melampaui masa-masa kritis krisis ekonomi nasional,saat ini
sedikitnya kita masih melihat beberapa kondisi yang dihadapi petani di
dalammengembangkan kegiatan usaha produktifnya, yaitu:
_
Akses yang semakin kurang baik terhadap sumberdaya (access to resources),
sepertiketerbatasan aset lahan, infrastruktur serta sarana dan prasarana
penunjang kegiatanproduktif lainnya;
_
Produktivitas tenaga kerja yang relatif rendah (productive and
remmunerativeemployment), sebagai akibat keterbatasan investasi, teknologi,
keterampilan danpengelolaan sumberdaya yang effisien;
_
Perasaan ketidakmerataan dan ketidakadilan akses pelayanan (access to
services)sebagai akibat kurang terperhatikannya rangsangan bagi tumbuhnya
lembagalembagasosial (social capital) dari bawah;
_
Kurangnya rasa percaya diri (self reliances), akibat kondisi yang
dihadapi dalammenciptakan rasa akan keamanan pangan, pasar, harga dan
lingkungan.Secara klasik sering diungkapkan bahwa penyebab utama ketimpangan
pendapatan dalam pertanian adalah ketimpangan pemilikan tanah. Hal ini adalah
benar, karena tanahtidak hanya dihubungkan dengan produksi, tetapi juga
mempunyai hubungan yang eratdengan kelembagaan, seperti bentuk dan birokrasi
dan sumber-sumber bantuan teknis, jugapemilikan tanah mempunyai hubungan dengan
kekuasaan baik di tingkat lokal maupun di tingkat yang lebih tinggi. Manfaat
dari program-program pembangunan pertanian diperdesaan yang datang dari “atas”
tampaknya hanya jatuh pada kelompok pemilik tanah,sebagai lapisan atas dari
masyarakat desa. Sebagai contoh, program kredit dengan jaminantanah serta bunga
modal, subsidi paket teknologi produksi, bahkan kontrol terhadapdistribusi
pengairan dan pasar lokal juga dilakukan oleh kelompok ini. Di lain
pihak,pelaksanaan perubahan seperti landreform, credit reform dan
sebagainya yang memangsecara substansial diperlukan sebagai suatu cara
redistribusi asset masih merupakan isyuyang kurang populer. Berbagai langkah
terobosan sebagai suatu upaya kelembagaan gunamemecahkan permasalahan di atas
yang dikembangkan seperti pengembangan
sistemusahatani sehamparan, pola PIR dan sebagainya, sama sekali belum
memecahkan problemsubstansial yang oleh Boeke diungkapkan sebagai
"dualisme".Dalam pada itu, karakteristik perdesaan seringkali
ditandai dengan pengangguran,produktifitas dan pendapatan rendah, kurangnya
fasilitas dan kemiskinan. Masalah-masalahpengangguran, setengah pengangguran
dan pengangguran terselubung menjadi gambaranumum dari perekonomian saat ini.
Pada waktu yang sama, terjadi pula produktifitas yangrendah dan kurangnya
fasilitas pelayanan penunjang. Rendahnya produktifitas merupakanciri khas di
kawasan perdesaan. Pada umumnya, sebagian besar petani dan para
pengelolaindustri perdesaan, bekerja dengan teknologi yang tidak berubah.
Investasi modal pada masasebelum krisis lebih banyak diarahkan pada industri
perkotaan daripada di sektor pertanianperdesaan. Sebagai konsekuensinya,
perbedaan produktifitas antara petani perdesaan denganpekerja industri
perkotaan semakin besar senjangnya. Hal ini merupakan masalah yangbanyak
dibicarakan dalam menyoroti ketimpangan antara perkotaan dan perdesaan,
pertania dan bukan pertanian.Pelayanan publik bagi adaptasi teknologi dan
informasi terutama untuk petani pada kenyataannya sering menunjukkan suasana
yang mencemaskan. Di satu pihak memangterdapat kenaikan produksi, tetapi di
lain pihak tidak dapat dihindarkan terjadinya
pencemaran
lingkungan, terlemparnya tenaga kerja ke luar sektor pertanian yang
tidaktertampung dan tanpa keahlian/ketrampilan lain, ledakan hama karena
terganggunyakeseimbangan lingkungan dan sebagainya. Manfaat teknologipun
seringkali masih dirasakanlebih banyak dinikmati pemilik aset sumberdaya
(tanah) sehingga pada gilirannya justrumenjadi penyebab utama dalam mempertajam
perbedaan pendapatan dan mempercepatpolarisasi dalam berbagai bentuk. Perasaan
ketidak-amanan dan kekurang-adilan akibatberbagai kebijakan dan kebocoran
(misalnya kasus impor illegal, dumping, pemalsuan danketiadaan
saprotan, keracunan lingkungan, jatuhnya harga saat panen dan lainnya)
seringkalimenjadi pelengkap rasa tidak percaya diri (dan apatisme berlebihan)
pada sebagian petani.Tinjauan holistik dengan memperhatikan kondisi berbagai
aspek kehidupan pertaniandan perdesaan seperti diuraikan disini, menunjukkan
bahwa inti esensi dari prosespembangunan pertanian dan perdesaan adalah
transformasi struktural masyarakat perdesaandari kondisi perdesaan agraris
tradisional menjadi perdesaan berbasis ekologi pertaniandengan pengusahaan
bersistem agribisnis, yang menjadi inti dari struktur ekonomi perdesaanyang
terkait erat dengan sistem industri, sistem perdagangan dan sistem jasa
nasional danglobal.Mencermati situasi di atas, jelas sangat diperlukan
upaya-upaya pengembanganagribisnis yang lekat dengan peningkatan pemberdayaan (empowering)
masyarakat agribisnis terutama skala mikro dan kecil dalam suatu kebijakan yang
“berpihak”.Keberpihakan kebijakan semacam itu sangat (baca: mutlak) diperlukan
untuk mengatasiberbagai kendala dan tantangan pengembangan agribisnis yang
berorientasi ekonomikerakyatan, keadilan, dan sekaligus meningkatkan daya saing
dalam iklim “kebersamaan”pelaku-pelaku ekonomi lainnya. Untuk itu, sebagai
prasyarat keharusan diperlukan suatu iklim kebijakan yang mendorong
terbangunnya institusi (kelembagaan) yang mampumeningkatkan posisi petani
menjadi bagian dari suatu kebersamaan entitas bisnis, baikdalam bentuk kelompok
usaha bersama, koperasi, korporasi (community corporate) ataupunshareholder.
Upaya kelembagaan tersebut diyakini akan dapat menjadi nilai (value)
baru,semangat baru bagi petani untuk terutama dapat melonggarkan
keterbatasanketerbatasannya,seperti akses terhadap sumberdaya produktif
(terutama lahan), peningkatanproduktivitas kerja, akses terhadap pelayanan dan
rasa keadilan, serta meningkatkan rasapercaya diri akan lingkungan yang aman,
adil dan transparan.Manifestasi dan implementasi dari upaya kelembagaan tersebut
pada dasarnyabukanlah mudah dan sederhana. Sebagai suatu rules atau
nilai dan semangat baru dalampembangunan pertanian ke depan, seyogyanya
mengandung berbagai ciri pokok danmendasar. Pertama, upaya kelembagaan tersebut
diharapkan menjadi pendorong terciptanyathe same level playing field bagi
petani dan pelaku ekonomi lainnya, berdasarkan “aturanmain” yang fair,
transparent, demokratis dan adil. Kedua, upaya kelembagaan tersebutmampu mendorong
peningkatan basis sumberdaya, produktivitas, efisiensi dan kelestarianbagi
kegiatan-kegiatan produktif pertanian, yang pada gilirannya akan
meningkatkanpendapatan dan kesejahteraan petani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar