KOPERASI
DAN KORPORASI PETANI:
KUNCI
PEMBUKA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS
BERDAYA
SAING, BERKERAKYATAN, DAN
BERKEADILAN
Rudi
Wibowo1
KOPERASI
DAN KORPORASI AGRIBISNIS
Institutional building sebagai
prasyarat keharusan dalam pengembangan agribisnisyang bagian terbesar pelakunya
petani “kecil dan gurem” adalah bangun koperasi dankorporasi agribisnis. Secara
substansial, upaya kelembagaan tersebut pada dasarnya dapatdipandang sebagai
langkah menuju rekonstruksi ulang dalam penguasaan dan aksessumberdaya
produktif di bidang pertanian, terutama berkaitan dengan
pengembanganagribisnis. Koperasi lebih merupakan soft-step reconstruction, sementara
korporasi lebihmerupakan rekonstruksi yang lebih “radikal”, atau hard-step
reconstruction.Bangun kelembagaan koperasi dipandang salah satu sosok yang
tepat, mengingat entitas tersebut berciri sebagai asosiasi (perkumpulan
orang/petani), badan usaha dan jugasebagai suatu gerakan (untuk melawan
penindasan ekonomi dan ketidakadilan sistem pasar).Sejarah koperasi di
Indonesia memang penuh dengan romantika sebagai akibat “terlampaukuatnya”
dukungan pemerintah dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga dalambanyak hal
menjadikan sosok koperasi di Indonesia sempat “kehilangan” jati dirinya.
Dikalangan masyarakat sendiri, masih beragam pendapat tentang eksistensi
koperasi dalamsistem ekonomi Indonesia saat ini. Sebagian apatis, sehingga
memerlukan pengkajian ulangmengenai eksistensi koperasi dalam sistem ekonomi
Indonesia. Sebagian lain memandangkoperasi sebagai entitas yang perlu
dikembangkan, walaupun seadanya saja. Sementara itu,berbagai pendapat lain
merasa penting untuk mengembangkan koperasi sebagai sosokkelembagaan ekonomi
yang kokoh bagi pemberdayaan masyarakat8. Pendapat terakhir iniArief, Sritua.,
1997. Pembangunan dan Ekonomi Indonesia: Pemberdayaan Rakyat dalam
ArusGlobalisasi. CPSM, Bandung.meyakini bahwa koperasi sebagai upaya
kelembagaan dapat merupakan instrumen bagiupaya restrukturisasi ekonomi
pertanian, untuk mewujudkan keseimbangan dalampenguasaan sumber-sumber ekonomi
pertanian. Ada dua argumen yang melandasi pendapatini, yaitu (a) secara
kolektif, koperasi dapat menghimpun para pelaku ekonomi pertaniandalam menjual
produk-produk yang dihasilkannya dengan posisi tawar yang baik, dan (b)koperasi
secara organisasi dapat menjadi wadah yang bertanggungjawab bagi
kebutuhanpengadaan saprotan maupun kebutuhan lain secara bertanggungjawab
pula.Walaupun demikian, ke depan, usaha-usaha untuk mengatasi berbagai masalah
yangdihadapi bagi pengembangan agribisnis di perdesaan tahap awal tetap masih
membutuhkan“ulur tangan” (kebijakan pemihakan) pemerintah secara langsung, akan
tetapi denganpengertian bentuk “ulur tangan” pemerintah tersebut harus ditempatkan
dalam upayapengembangan iklim berusaha yang sesuai. Misalnya, pengembangan
program dan metodapenyuluhan pertanian yang diarahkan kepada upaya pengembangan
orientasi dankemampuan kewirausahaan, yang lebih mencakup substansi manajemen
usaha danpenyesuaian terhadap materi-materi di bidang produksi dan pemasaran.
Dalam hubungan inimaka pola magang dan sistem pencangkokan manajer dapat
menjadi alternatif yangdipertimbangkan.Masalah kelangkaan kapital yang
seringkali menjadi kendala pengembanganagribisnis memerlukan kebijakan secara
lebih hati-hati. Pemberian kredit yang murahseringkali justru dapat berakibat
buruk bagi perkembangan kegiatan usaha dalam jangkapanjang, jika tidak diikuti
dengan upaya-upaya pengendalian yang baik. Alternatif yangdinilai lebih sesuai
adalah dengan mengembangkan koperasi agribisnis yang menyediakanfasilitas
kredit yang mudah, yaitu kredit yang memiliki kemudahan dalam
perolehannya,kesesuaian dalam jumlah, waktu serta metode peminjaman dan
pengembaliannya.Disamping itu pemberian kredit tersebut perlu di atur
sedemikian sehingga kemungkinan reinvestasidan keberhasilan usaha dapat lebih
terjamin. Dalam hal ini bentuk supervisedcredit dapat menjadi alternatif
model pemberian kredit. Banyak contoh sukses koperasikredit di bidang agribisnis
yang kuat dan besar, seperti Credit Agricole di Perancis,Rabobank di
Belanda, dan lain-lain.Pengembangan agribisnis dengan agro-industri perdesaan
juga perlu didukung olehkelembagaan yang sesuai, mengingat kerakteristiknya
yang sangat beragam. Dalamkelembagaan usaha tersebut misalnya, perlu dikaji
kombinasi optimal dari penguasaan danpemanfaatan skala usaha dengan efisiensi
unit usaha, sesuai dengan sifat kegiatan yangdilakukan. Salah satu contoh, jika
kegiatan agroindustri memang akan lebih efisien apabiladilakukan dalam skala
yang relatif kecil, maka pengembangan kegiatan usaha individualperlu didorong.
Akan tetapi untuk kegiatan pengangkutan yang memerlukan skala kegiatanyang
lebih besar, perlu dipertimbangkan suatu unit kegiatan yang sesuai pula. Dengandemikian,
dimungkinkan terjadinya kondisi dimana kegiatan agroindustri dilakukan
secaraindividual (tidak harus dipaksakan berada dalam unit kegiatan koperasi
misalnya), tetapipara agroindustriawan tersebut bersama-sama membentuk
koperasi, atau unit usaha koperasidalam bidang pengangkutan. Hal-hal semacam memerlukan
penelaahan lebih lanjut secaramendalam, dikaitkan dengan sosok spesifik unit
usaha yang dikembangkan dalam koperasiagribisnis tersebut.Oleh karena itu,
dalam operasionalisasi pengembangan agribisnis/agroindustri ditingkat lokalita
(kawasan perdesaan) akan dijumpai pula kondisi yang sangat beragam baik dari
segi agroekosistem, sarana dan prasarana maupun kondisi sosial
budayanya.Keragaman-keragaman tersebut jelas menghendaki rancang bangun kelembagaan
yangmampu mengoptimalisasikan kinerja manajemen maupun teknologi. Dalam hal
ini, beberapacontoh berkembangnya model-model kelembagaan agribisnis seperti
SPAKU, KUBA, Desa Cerdas Teknologi, ULP2, Gerakan Kemitraan, Inkubator, Klinik
Tani/Agribisnis, AsosiasiasosiasiPetani, pemanfaatan tenaga-tenaga perekayasa
profesional yang berfungsi sebagaikonsultan dan nara sumber, harus dipandang
sebagai langkah esensial untukmengakumulasikan modal sosial (social capital)
yang harus terus-menerus didorong sebagaiembrio dalam mewujudkan institutional
building yang akan memperkokoh posisi tawarpetani dalam agribisnis.Dalam
pada itu, korporasi petani dalam bidang agribisnis telah menjadi wacana
dandiskusi publik sebagai suatu institutional building. Pesan yang lebih
menonjol adalah padalingkungan petani perkebunan (khususnya tebu-gula di BUMN
perkebunan) di Jawa Timur.Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: Apakah
pola BUMN perkebunan seyogyanyadiprivatisasi menjadi swasta murni seperti
kecenderungan yang ada, ataukahmengembangkan alternatif berupa korporasi masyarakat
(petani) sebagai pemilik utamaperkebunan tersebut? Banyak argumen yang
membimbing kecenderungan rekonstruksiagribisnis tebu-gula tersebut, antara lain
(a) besarnya biaya produksi kebun tebu, 60-70persen, (b) memudarnya
persenyawaan kepentingan antara subyek petani/rakyat,pemerintah/principal dan
manajemen BUMN, (c) lemahnya reinvestasi baru yang dilakukanBUMN, (d) institusi
korporasi dianggap paling tepat dalam penyelesaian asymetric poweryang
selama ini terjadi, (e) the best product hanya akan dihasilkan oleh the
best community,(f) rigiditas pabrik dan fleksibilitas pilihan pemanfaatan
lahan petani9.Korporasi masyarakat (petani agribisnis) pada dasarnya adalah
perusahaan yangdimiliki oleh masyarakat (petani agribisnis). Korporasi
masyarakat pada dasarnya akanmenjadi kuat manakala memanfaatkan segenap social
capital yang ada pada masyarakattersebut. Contoh yang dikemukakan adalah
pelajaran dari pengalaman empirik perusahaanAmerican Crystal Sugar Company
(ACSC) yang dibeli oleh 1300 petani pada tahun 1973melalui NYSE senilai US$ 86
juta. Sejak saat itu, ACSC berkembang pesat, baik dalamareal, produksi,
rendemen, kepemilikan petani, dan joint ventures10. Demikian
pula,pelajaran yang dikembangkan di Malaysia dalam merestrukturisasi
kepemilikan sahammelalui skema Amanah Saham Nasional tampaknya dapat menjadi
bahan pengkajian11.
9
Agus Pakpahan, 2004. Op cit. halaman 115
10
Agus Pakpahan, 2004. Op cit. halaman 116.
11
Arief, Sritua, 1997. Op cit. Halaman 208.
Mengembangkan
kelembagaan-kelembagaan di atas sebagai landasan gerakpengembangan agribisnis
bagi para petani di perdesaan bukanlah merupakan hal yang mudahdan sederhana.
Dibutuhkan dukungan kebijakan pemihakan yang lebih kuat, tidak
cenderungberorientasi kepada yang kuat, tetapi lebih kepada yang lemah dan yang
kurang berdaya (theunder privileged). Kebijakan yang bersifat “netral”
saja tidak cukup dalam pembangunanpertanian dan agribisnis, karena dibutuhkan
pemahaman dan kepedulian akan masalah yangdihadapi oleh rakyat (petani) yang
merupakan bagian terbesar di lapisan bawah. Untuk itu,pemerintahan memang harus
mampu mengatasi hambatan psikologis, karena seringkalibirokrasi strata atas di
banyak negara berkembang seperti Indonesia umumnya merupakankelompok elit suatu
bangsa, yang tidak selalu tanggap dan mudah menyesuaikan diri
ataumengasosiasikan diri dengan rakyat yang miskin dan terbelakang.
PENUTUP
Tulisan
sederhana ini berusaha memperoleh “kejernihan” pemahaman pembangunanpertanian
berwawasan agribisnis di Indonesia. Pelaku ekonomi pertanian sekaligus
investorutamanya adalah berjuta petani sebagai “pengusaha” agribisnis berskala
mikro dan kecil yang merupakan basis ekonomi kerakyatan, penopang ekonomi
perdesaan dan sumberpenghasilan bagi sebagian besar masyarakat perdesaan. Sosok
pertanian tersebut, --walaupunsangat potensial--, akan tetapi dihadapkan pada
berbagai “tekanan” baik secara internaldomestikmaupun eksternal-globalisasi.
Kedua realitas “tekanan” tersebut secara konsistentelah, sedang, dan akan terus
meningkatkan “kegelisahan dan keprihatinan” petani danpertanian kita. Manakala
tanpa upaya-upaya mendasar, pertanian dan agribisnis hanyalah akan menjadi “mimpi
buruk” bagi bangsa ini.Salah satu upaya mendasar untuk menghindari “mimpi
buruk” pembangunanpertanian dan agribisnis yang dikemukakan adalah
mengembangkan upaya kelembagaan(institutional building). Institusi atau
kelembagaan adalah suatu rules yang merupakanproduk dari nilai, yang
diharapkan terus berevolusi dan menjadi bagian dari budaya(culture). Hal
itu merupakan prasyarat keharusan (necessary condition) untuk
menjadi“kunci pembuka” pengembangan agribisnis yang berdaya saing,
berkerakyatan danberkeadilan. Secara operasional, sosok koperasi agribisnis dan
korporasi (masyarakat)agribisnis dipandang sebagai bangun kelembagaan yang
mampu berperan dalammewujudkan pembangunan pertanian sebagaimana yang
di-visi-kan.Mewujudkan upaya di atas tidaklah mudah dan sederhana.
Karakteristik, keunikandan keragaman yang tinggi pada berbagai kegiatan
agribisnis di satu pihak, serta dinamikapermintaan dan konsumsi yang sangat
tinggi memerlukan manajemen pengelolaan yangterintegrasi sebagai suatu syarat
kecukupan (sufficient condition).Diyakini, kunci utama untuk dapat
memanfaatkan segenap social capital yang adapada masyarakat adalah
terletak pada kualitas sumberdaya manusia. Dalam hal ini yangterpenting adalah
bagaimana membangun SDM yang ada (dengan latar belakang dankualitas yang
berbeda-beda) menjadi suatu team work yang harmonis. Banyak
persoalaninefisiensi kelembagaan yang disebabkan oleh ketidak-harmonisan SDM
yang terlibat didalamnya.
Referensi
Kepustakaan
Anonim,
2002. Pembangunan Sistem Agribisnis Sebagai Penggerak Ekonomi Nasional,
Departemen
Pertanian, Jakarta.
_______,
2003. Ekonomi Kerakyatan Dalam Kancah Globalisasi. Kantor Kementerian
Koperasi
Usaha Kecil dan Menengah.
Arief,
Sritua., 1997. Pembangunan dan Ekonomi Indonesia: Pemberdayaan Rakyat
dalam
Arus Globalisasi. CPSM,
Bandung.
Arifin,
B. 2004. Menterjemahkan Keberpihakan Terhadap Sektor Pertanian: Suatu
Telaah
Ekonomi Politik. Dalam:
Rudi Wibowo dkk (Ed)., Rekonstruksi dan
Restrukturisasi
Pertanian. PERHEPI, Jakarta 2004.
Baharsjah,
S. 1996. Kemitraan Dalam Pembangunan Nasional Memasuki Abad 21 :
Peningkatan
Ekonomi Pertanian. Makalah
disampaikan pada Simposium Nasional
Cendekiawan
Indonesia Ke III. Jakarta, 27-28 Agustus 1996
Chairil
Anwar Rasahan dan Rudi Wibowo, 1996. Pemantapan Kebijakan Pemba-ngunan
Pertanian
Yang Mendukung Meningkatnya Kemandirian dan Daya Saing
Pertanian.
Kertas
Makalah pada Konpernas Perhepi XII. Denpasar 7-9 Agustus
1996.
Departemen
Pertanian, 2002. Penjabaran Program dan Kegiatan Pembangunan
Pertanian
2001-2004. Departemen
Pertanian, Jakarta.
Korten,
David C., 1980, Community Organization and Rural Development : A Learning
Process
Approach,
dalam Public Administration Review, No.40 tahun 1980
Krisnamurthi,
B., 2003. Analisis Grand Strategy Pembangunan Pertanian:
Pembangunan
Sistem dan Usaha Agribisnis dan Implementasi Pembangunan
Pertanian.
Makalah,
disampaikan pada Lokakarya Penyusunan Evaluasi Kinerja
Pembangunan
Pertanian. Jakarta, 10-11 Desember 2003.
Menteri
Pertanian RI., 2000. Memposisikan Pertanian Sebagai Poros Penggerak
Perekonomian
Nasional.
Departemen Pertanian, Januari 2000.
Pakpahan.,
2004. Petani Menggugat. Max Havelaar Indonesia dan GAPPERINDO,
Jakarta.
Rudi
Wibowo., 1999. Refleksi Teori Ekonomi Klasik Dalam Manajemen Pemanfaatan
Sumberdaya
Pertanian Pada Milenium Ke Tiga. Dalam Refleksi Pertanian
Tanaman
pangan dan Hortikultura. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
__________.,
2001. Mewujudkan Visi Agribisnis Berdaya Saing Melalui
Pembangunan
Wilayah Yang Selaras Dengan Alam. Orasi Ilmiah Guru Besar
Ekonomi
Pertanian Universitas Jember. Jember, 12 Nopember 2001.
14
___________.
1999. Etika Pembangunan Sumberdaya Pertanian Menuju
Pembangunan
Berkelanjutan.
Dalam Rudi Wibowo (ed). 1999. Refleksi
Pembangunan
Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Nusantara. Penerbit Sinar
Harapan,
1999.
___________,
2000. Perspektif Manajemen Pembangunan Pertanian Indonesia. Jurnal
Agribisnis
Volume IV Nomor 1. Januari-Juni 2000. JUBC, Pusat Bisnis Universitas
Jember.
___________,
Bayu Krisnamurthi dan Bustanul Arifin., (ed). 2004. Rekonstruksi dan
Restrukturisasi
Pertanian. Beberapa
Pandangan Kritis Menyongsong Masa Depan.
PERHEPI,
Jakarta.
Saragih,
B. (2000). Karakteristik Agribisnis dan Implikasinya Bagi Manajemen
Agribisnis
(Agribusiness
Characteristics and its Implication to Agribusiness
Management). Jurnal
Agribisnis Volume IV Nomor 1. Januari-Juni 2000. JUBC,
Pusat
Bisnis Universitas Jember.
Soetrisno,
N., 2003. Menuju Pembangunan Ekonomi Berkeadilan Sosial. STEKPI,
Jakarta.
___________,
2003a. Kewirausahaan Dalam Pengembangan UKM di Indonesia. Dalam:
Ekonomi
Kerakyatan Dalam Kancah Globalisasi. Kantor Kementerian Koperasi
Usaha
Kecil dan Menengah.
___________,
2001. Rekonstruksi Pemahaman Koperasi. Merajut Kekuatan Ekonomi
Rakyat.
INTRANS,
Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar